Bonus demografi Sumbar, antara harapan dan kekhawatiran

Bonus demografi Sumbar, antara harapan dan kekhawatiran

"Bonus demografi Sumbar, antara harapan dan kekhawatiran"

Banyak ahli, pemateri dan pengamat sekarang bicara masalah Bonus Demografi (BD), yang menurut mereka menjadi peluang bagi suatu daerah untuk mempercepat pencapaian kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang mungkin menjadi substansi dalam RPJP dan RPJM daerahnya masing-masing. Pendapat tersebut di amini pula oleh banyak pihak penyelenggara pemerintahan, karena definisi BD yang diacu adalah, BD adalah suatu keadaaan dimana jumlah penduduk produktif (15-64 th) lebih besar dari penduduk usia non produktif (0-14 th + diatas 65 th), dengan penjelasan tambahan bahwa beban ketergantungan penduduk akan berkurang apabila kelebihan dari potensi BD dikelola dan dimanfaatkan dengan baik.

Dengan melihat data kependudukan Sumatera Barat, dengan jumlah penduduk per 31.12.2018 sebesar 5.519.245 orang, luas wilayah 42.125 km2 dan kepadatan 131,02 orang/ km2, BD sebenarnya sdh dicapai oleh Sumatera Barat. Data struktur umur penduduk Sumatera Barat memperlihatkan bahwa jumlah usia 15-64 th sebesar 3.723.056 (67,51%), dan jumlah usia 0-14 th sebesar 1.429.506 (25,15%) ditambah jumlah usia diatas 65 th sebesar 364.683 (7,34%) membuktikan bahwa BD sudah dicapai di Sumatera Barat.

Dengan menjabarkan tambahan penjelasan dari definisi BD diatas, maka beberapa hal mungkin perlu diamati lebih lanjut terkait kondisi Sumatera Barat. 
1) Beberapa daerah mempunyai laju pertumbuhan yang relatif tinggi seperti Kota Solok (2,6%), Kab. Dharmasraya (2,27%) dan Kota Pariaman (2,21%), dan beberapa daerah malah laju pertumbuhannya minus seperti Kab. Padang Pariaman (-8,22%) dan Kab. Solok Selatan (-2,11%)
2) Beberapa daerah mempunyai kepadatan yang tinggi seperti Kota Bukittinggi (5.066,25 org/km2), Kota Padang Panjang (2.750,81 org/ km2) dan Kota Payakumbuh (1.837,23 org/km2) dibandingkan dengan beberapa daerah yang jarang penduduknya seperti Kab. Mentawai (14,59 org/km2), Kab. Solok Selatan (50,08 org/km2) dan Kab. Dharmasraya (70,46 org/km2).
3) Penduduk Sumatera Barat yang tidak bekerja sebesar 1.332.976 orang (24,14%) yang mungkin berada pada posisi usia non produktif, tapi juga mungkin berada pada usia produktif (menganggur).

Berkaca pada data-data diatas, dengan definisi yang ada mungkin Sumatera Barat memang sudah berada pada posisi mendapatkan BD karena 67,51% penduduknya adalah usia produktif, yang hanya akan menanggung 32,49% penduduk usia non produktif dari sisi kuantitatif data kependudukan. Namun pendalaman yang seharusnya dilakukan adalah, apakah memang usia produktif itu bekerja penuh, bukan sampingan yang mempunyai pekerjaan yang layak dengan penghasilan yang cukup untuk menanggung penduduk usia non produktif yang akan banyak memerlukan biaya pendidikan dan biaya kesehatan? Apakah posisi penduduk usia produktif itu memang berada pada wilayah-wilayah dengan kesempatan kerja tinggi? Apakah penduduk non produktif tersebut memang tersebar proporsional dengan sebaran penduduk usia produktif? Apakah memang fakta-fakta tersebut memang diiringi dengan atensi dan fasilitasi yang proporsional terhadap struktur umur belia dan lansia serta struktur umur produktif.

Sosiologi penduduk Sumatera Barat yang dikenal dengan budaya dan etos merantau, baik untuk bekerja maupun untuk mencari pendidikan yang lebih berkualitas tentunya menjadi dilema tersendiri bagi pendefinisian BD di daerah Sumatera Barat. Semangat untuk mendapatkan bonus tentunya harus diikuti dengan upaya-upaya simultan untuk optimalisasi posisi data dan fakta yang ada, karena tanpa hal tersebut bukan tidak mungkin bonus tersebut berubah menjadi kerugian yang akan menimbulkan potensi permasalahan kependudukan dikemudian hari.

Rahman