Kebijakan Adminduk harus memperhatikan aspek sosiologi masyarakat

"Kebijakan Adminduk harus memperhatikan aspek sosiologi masyarakat"

Pagi ini ada diskusi hangat diantara beberapa Kepala Dinas Dukcapil se Sumatera Barat saat menghadiri acara Sosialisasi Kebijakan Pencatatan Sipil di Jakarta.

Materi diskusi pertama adalah munculnya kekhawatiran bahwa blanko KTP yang sudah tercetak di 19 Kabupaten / Kota sebagian mungkin tidak akan pernah sampai ke masyarakat tepat pada waktunya, karena pola distribusinya dilakukan melalui Kecamatan dan Kenagarian / Kelurahan.

Materi kedua adalah tentang munculnya temuan baru oleh seorang Kepala Dinas bahwa pelayanan keliling yang sudah dilakukan hampir setiap hari selama ini, tidak efektif dan efisien karena rendahnya antusiasme masyarakat karena harus meninggalkan pekerjaannya yang notabene juga mengganggu penghasilan hariannya untuk urusan dokumen kependudukannya. Kedua kasus diatas melahirkan satu pertanyaan seragam, sebetulnya yang butuh administrasi / dokumen kependudukan itu siapa?

Pembahasan alot kasus pertama disimpulkan terjadi karena pemahaman yang perlu ditingkatkan bagi para Walinagari dan Lurah yang mungkin menganggap membantu pendistribusian blanko KTP yang telah tercetak ini sebagai tugas ekstra tambahan yang memberatkan, bukannya dengan pemahaman sebaliknya bahwa dengan tertibnya administrasi penduduk di wilayahnya akan sangat membantu akselerasi tercapainya berbagai target kinerjanya, dan yang terpenting hal itu akan membahagiakan masyarakat yang akan mendukung berbagai program yang dilaksanakan.

Pembahasan intens kasus kedua disimpulkan bahwa pelayanan keliling siang hari, dimulai sepagi apapun, tidak akan menarik atensi masyarakat jika dihadapkan dengan pilihan meninggalkan pekerjaan dan berkurangnya penghasilan. Bayangkan yang telah terjadi selama ini, betapa tidak efisiennya biaya pelayanan keliling jika dihadapkan dengan berapa output dokumen yang dihasilkan karena masyarakat memang tidak tertarik datang mengurusnya. Fakta yang baru disadari adalah, kalau pelayanan keliling dilakukan malam hari, atau dihari libur, masyarakat akan membludak datang dan staf Disdukcapil akan kewalahan dengan berbagai kebutuhan masyarakat tentang dokumen kependudukan.

Kedua hal diatas, baik dari konteks masalah dan pemahaman yang muncul dari fakta-fakta terakhir adalah karena pemahaman pelaksanaan administrasi kependudukan masih didasari sebagai aspek teknis semata, belum dipertimbangkan aspek sosiologisnya yang seharusnya menjadi indikator strategis di awal lahirnya sebuah kebijakan, katakanlah dalam pendistribusian KTP-elektronik dan pelayanan keliling.

Coba kita imajinasikan bagaimana semangatnya seorang Walinagari dan Lurah dalam memfasilitasi distribusi KTP-elektronik, sekiranya mereka lebih memahami korelasi kepemilikan dokumen kependudukan masyarakatnya dengan efektifitas tugas fungsinya menjalankan roda Pemerintahan Nagari dan Kelurahan. Dan bagaimana pula imajinasi kegairahan masyarakat mengurus dokumen kependudukan sekiranya waktu pelayanan tidak mengganggu waktu kerja nya di siang hari dan dilakukan di malan hari dan hari libur di lokasi terdekat dengan pemukimannya.

Sekali lagi, pengalaman menunjukan ke kita bahwa pemahaman teknis saja tentang tugas dan fungsi tidak menjamin efektifitas dan efisiensi yang diharapkan, namun pemahaman tambahan yang tidak kalah pentingnya adalah mengetahui dengan pasti aspek sosiologis Walinagari dan Lurah yang akan membantu, dan masyarakat sebagai penerima manfaat sekaligus pengguna dokumen kependudukan yang kita hasilkan.

Rahman